judul blog

ale manis, beta manis, ambon jua manis || yang hitam itu manggustan, yang manis itu manggustan, yang hitam itu ambon, yang manis itu ambon

Senin, 25 April 2011

⚫ The History Of Moluccas


Maluku merupakan salah satu propinsi tertua dalam sejarah Indonesia merdeka, dikenal dengan kawasan Seribu Pulau serta memiliki keanekaragaman sosial budaya dan kekayaan alam yang berlimpah. Secara historis kepulauan Maluku terdiri dari kerajaan-kerajaan Islam yang menguasai pulau-pulau tersebut. Oleh karena itu, diberi nama Maluku yang berasal dari kata Al Mulk yang berarti Tanah Raja-Raja. Daerah ini dinyatakan sebagai propinsi bersama tujuh daerah lainnya; Kalimantan, Sunda Kecil, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera – hanya dua hari setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun secara resmi pembentukan Maluku sebagai propinsi daerah tingkat I RI baru terjadi 12 tahun kemudian, berdasarkan Undang Undang Darurat Nomor 22 tahun 1957 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 1958.

Lintasan Sejarah...
Seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, Kepulauan Maluku memiliki perjalanan sejarah yang panjang dan tidak dapat dilepaskan dari sejarah Indonesia secara keseluruhan. Kawasan kepulauan yang kaya dengan rempah-rempah ini sudah dikenal di dunia internasional sejak dahulu kala. Pada awal abad ke-7 pelaut-pelaut dari daratan Cina, khususnya pada zaman Dinasti Tang, kerap mengunjungi Maluku untuk mencari rempah-rempah. Namun mereka sengaja merahasiakannya untuk mencegah datangnya bangsa-bangsa lain kedaerah ini.
Pada abad ke-9 pedagang Arab berhasil menemukan Maluku setelah mengarungi Samudra Hindia. Para pedagang ini kemudian menguasai pasar Eropa melalui kota-kota pelabuhan seperti Konstatinopel. Abad ke-14 adalah merupakan masa perdagangan rempah-rempah Timur Tengah yang membawa agama Islam masuk ke Kepulauan Maluku melalui pelabuhan-pelabuhan Aceh, Malaka, dan Gresik, antara 1300 sampai 1400. Pada abad ke-12 wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya meliputi Kepulauan Maluku. Pada awal abad ke-14 Kerajaan Majapahit menguasai seluruh wilayah laut Asia Tenggara. Pada waktu itu para pedagang dari Jawa memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku.

Dimasa Dinas Ming (1368 – 1643) rempah-rempah dari Maluku diperkenalkan dalam berbagai karya seni dan sejarah. Dalam sebuah lukisan karya W.P. Groeneveldt yang berjudul Gunung Dupa, Maluku digambarkan sebagai wilayah bergunung-gunung yang hijau dan dipenuhi pohon cengkih – sebuah oase ditengah laut sebelah tenggara. Marco Polo juga menggambarkan perdagangan cengkih di Maluku dalam kunjungannya di Sumatra.

Era Portugis
Bangsa Eropa pertama yang menemukan Maluku adalah Portugis, pada tahun 1512. Pada waktu itu 2 armada Portugis, masing-masing dibawah pimpinan Anthony d'Abreu dan Fransisco Serau, mendarat di Kepulauan Banda dan Kepulauan Penyu. Setelah mereka menjalin persahabatan dengan penduduk dan raja-raja setempat - seperti dengan Kerajaan Ternate di pulau Ternate, Portugis diberi izin untuk mendirikan benteng di Pikaoli, begitupula Negeri Hitu lama, dan Mamala di Pulau Ambon.Namun hubungan dagang rempah-rempah ini tidak berlangsung lama, karena Portugis menerapkan sistem monopoli sekaligus melakukan penyebaran agama Kristen.

Salah seorang misionaris terkenal adalah Francis Xavier. Tiba di Ambon 14 Pebruari 1546, kemudian melanjutkan perjalanan ke Ternate, tiba pada tahun 1547, dan tanpa kenal lelah melakukan kunjungan ke pulau-pulau di Kepulauan Maluku untuk melakukan penyebaran agama. Persahabatan Portugis dan Ternate berakhir pada tahun 1570. Peperangan dengan Sultan Babullah selama 5 tahun (1570-1575), membuat Portugis harus angkat kaki dari Ternate dan terusir ke Tidore dan Ambon.

Era Belanda
Perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis, dimanfaatkan Belanda untuk menjejakkan kakinya di Maluku. Pada tahun 1605, Belanda berhasil memaksa Portugis untuk menyerahkan pertahanannya di Ambon kepada Steven van der Hagen dan di Tidore kepada Cornelisz Sebastiansz. Demikian pula benteng Inggris di Kambelo, Pulau Seram, dihancurkan oleh Belanda. Sejak saat itu Belanda berhasil menguasai sebagian besar wilayah Maluku.

Kedudukan Belanda di Maluku semakin kuat dengan berdirinya VOC pada tahun 1602, dan sejak saat itu Belanda menjadi penguasa tunggal di Maluku. Di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen, Kepala Operasional VOC, perdagangan cengkih di Maluku sepunuh di bawah kendali VOC selama hampir 350 tahun. Untuk keperluan ini VOC tidak segan-segan mengusir pesaingnya; Portugis, Spanyol, dan Inggris. Bahkan puluhan ribu orang Maluku menjadi korban kebrutalan VOC. Pada permulaan tahun 1800 Inggris mulai menyerang dan menguasai wilayah-wilayah kekuasaan Belanda seperti di Ternate dan Banda. Dan, pada tahun 1810 Inggris menguasai Maluku dengan menempatkan seorang resimen jendral bernama Bryant Martin. Namun sesuai konvensi London tahun 1814 yang memutuskan Inggris harus menyerahkan kembali seluruh jajahan Belanda kepada pemerintah Belanda, maka mulai tahun 1817 Belanda mengatur kembali kekuasaannya di Maluku.

Pahlawan
Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Thomas Matulessy yang diberi gelar Kapitan Pattimura, seorang bekas sersan mayor tentara Inggris. Pada tanggal 15 Mei 1817 serangan dilancarkan terhadap benteng Belanda ''Duurstede'' di pulau Saparua. Residen van den Berg terbunuh. Pattimura dalam perlawanan ini dibantu oleh teman-temannya ; Philip Latumahina, Anthony Ribok, dan Said Perintah. Berita kemenangan pertama ini membangkitkan semangat perlawanan rakyat di seluruh Maluku. Paulus Tiahahu dan putrinya Christina Martha Tiahahu berjuang di Pulau Nusalaut, dan Kapitan Ulupaha di Ambon. Tetapi Perlawanan rakyat ini akhirnya dengan penuh tipu muslihat dan kelicikan dapat ditumpas kekuasaan Belanda. Pattimura dan teman-temannya pada tanggal 16 Desember 1817 dijatuhi hukuman mati di tiang gantungan, di Fort Niew Victoria, Ambon. Sedangkan Christina Martha Tiahahu meninggal di atas kapal dalam pelayaran pembuangannya ke pulau Jawa dan jasadnya dilepaskan ke laut Banda.


Era Perang Dunia Ke Dua
Pecahnya Perang Pasifik tanggal 7 Desember 1941 sebagai bagian dari Perang Dunia II mencatat era baru dalam sejarah penjajahan di Indonesia. Gubernur Jendral Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh , melalui radio, menyatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda dalam keadaan perang dengan Jepang. Tentara Jepang tidak banyak kesulitan merebut kepulauan di Indonesia. Di Kepulauan Maluku, pasukan Jepang masuk dari utara melalui pulau Morotai dan dari timur melalui pulau Misool. Dalam waktu singkat seluruh Kepulauan Maluku dapat dikuasai Jepang. Perlu dicatat bahwa dalam Perang Dunia II, tentara Australia sempat bertempur melawan tentara Jepang di desa Tawiri. Dan, untuk memperingatinya dibangun monumen Australia di desa Tawiri (tidak jauh dari Bandara Pattimura).


Dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Maluku dinyatakan sebagai salah satu propinsi Republik Indonesia. Namun pembentukan dan kedudukan Propinsi Maluku saat itu terpaksa dilakukan di Jakarta, sebab segera setelah Jepang menyerah, Belanda (NICA) langsung memasuki Maluku dan menghidupkan kembali sistem pemerintahan colonial di Maluku. Belanda terus berusaha menguasai daerah yang kaya dengan rempah-rempahnya ini – bahkan hingga setelah keluarnya pengakuan kedaulatan pada tahun 1949 – dengan mensponsori terbentuknya “Republik Maluku Selatan” (RMS).

Budaya
Nilai-nilai sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Maluku merupakan salah satu modal dasar bagi peningkatan persatuan dan kesatuan termasuk menyemangati masyarakat dalam melaksanakan pembangunan di daerah ini. Hubungan-hubungan kekerabatan adat dan budaya harus terus didorong sehingga dapat menciptakan sinergitas yang andal bagi upaya bersama membangun Maluku Baru di masa mendatang. Pendukung kebudayaan di Maluku terdiri dari ratusan sub suku, yang dapat diindikasikan dari pengguna bahasa lokal yang diketahui masih aktif dipergunakan sebanyak 117 dari jumlah bahasa lokal yang pernah ada kurang lebih 130-an. Meskipun masyarakat di daerah ini mencerminkan karakteristik masyarakat yang multi kultur, tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan-kesamaan nilai budaya sebagai representasi kolektif. Salah satu diantaranya adalah filosofi Siwalima yang selama ini telah melembaga sebagai world view atau cara pandang masyarakat tentang kehidupan bersama dalam kepelbagaian. Di dalam filosofi ini, terkandung berbagai pranata yang memiliki common values dan dapat ditemukan di seluruh wilayah Maluku. Sebutlah pranata budaya seperti masohi, maren, sweri, sasi, hawear, pela gandong, dan lain sebagainya. Adapun filosofi Siwalima dimaksud telah menjadi simbol identitas daerah, karena selama ini sudah dipaterikan sebagai dan menjadi logo dari Pemerintah Daerah Maluku. Dalam konteks pembangunan daerah, nilai-nilai budaya lokal yang masih ada dan hidup di kalangan masyarakat, dapat dipandang sebagai modal sosial yang perlu dimanfaatkan bagi kepentingan pembangunan daerah


Pela Gandong sebagai Katup Pengaman di Maluku
Secara antropologis, masyarakat asli Maluku Tengah berasal dari dua pulau besar, yaitu Pulau Seram dan Pulau Buru, yang kemudian bermigrasi ke pulau-pulau kecil di sekitarnya. Para migran dari Pulau Seram menyebar ke Kepulauan Lease (Pulau Haruku, Pulau Saparua, Pulau Nusalaut) dan Pulau Ambon. Migrasi ini memberi dampak terhadap peran Kepulauan Lease sebagai pusat kebudayaan baru yang diintrodusir oleh kolonial Belanda, sehingga terjadi asimilasi antara kebudayaan baru dimaksud dengan Kebudayaan Seram yang mendapat pengaruh dari kebudayaan sekitarnya, yaitu kebudayaan Melanesia (tradisi Kakean) dan Melayu, serta kekuasaan Ternate dan Tidore. Dalam rangka pengawasan terhadap penduduk, pemerintah kolonial Belanda menurunkan penduduk dari pegunungan ke pesisir pantai, sehingga komunitas-komunitas dengan teritori yang disebut Hena atau Aman, berganti nama dengan Negeri, yang diciptakan oleh kolonial.


Dalam proses sosio-historis, negeri-negeri ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam. Pembentukan negeri seperti ini memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang mengentalkan solidaritas kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik. Oleh sebab itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen konflik tradisional sebagai pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna mengatasi kerentanan konflik dimaksud seperti Pela, Gandong dan hubungan kekerabatan lainnya.
Teritori-teritori baru ini (negeri) diatur struktur pemerintahannya yang mirip dengan struktur pemerintahan di Negeri Belanda. Dengan struktur pemerintahan demikian, maka negeri-negeri menjadi ”negara-negara” kecil dengan pemerintah, rakyat dan teritori tertentu, dipimpin oleh raja yang diangkat dari klen-klen tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negeri dibagi-bagi untuk seluruh klen dalam komunitas negeri.

Dalam proses penataan struktur pemerintahan negeri, terjadi perubahan institusi sosial, seperti Saniri Negeri yang sebelumnya merupakan lembaga peradilan, berubah fungsi menjadi semacam badan perwakilan rakyat.
Dalam perkembangan sosio-historis selanjutnya, terjadi kontak-kontak sosial baik antar masyarakat asli Maluku Tengah maupun antara masyarakat asli dengan pendatang. Dengan demikian di masyarakat Maluku Tengah ini dikenal dua kelompok atau kategori sosial, yaitu Anak Negeri dan Orang Dagang. Yang disebut Anak Negeri ialah penduduk asli Maluku Tengah dalam sebuah negeri (Desa Adat).

Anak Negeri ini, terdiri atas dua kelompok pemeluk agama, yaitu Anak Negeri Sarani untuk yang beragama Kristen, yang mendiami Negeri (Desa Adat) Sarani, dan Anak Negeri Salam untuk yang beragama Islam, yang mendiami Negeri (Desa Adat). Kedua kelompok masyarakat ini umumnya hidup dalam komunal-komunal (Negeri) yang terpisah, kecuali di beberapa desa seperti Hila, Larike dan Tial di Pulau Ambon.
Yang disebut Orang Dagang ialah para pendatang, baik karena ikatan perkawinan dengan Anak Negeri, maupun karena tugas-tugas pelayanan masyarakat (guru, mantri kesehatan, mantri pertanian, dan lain-lain), atau karena aktivitas ekonomi (penggarap tanah atau pemungut hasil hutan, atau pedagang). Jadi, Orang Dagang di sebuah Negeri, dapat berasal dari orang Maluku asli yang berasal dari Negeri lain, ataupun pendatang dari luar Maluku, yaitu yang berasal dari Buton, dan suku bangsa Cina serta Arab.

Gotong Royong
Khusus pendatang dari luar Maluku, etnis yang dominan dari segi kuantitas ialah enis Buton. Orang Dagang dari luar Maluku ini datang dan menetap dalam Negeri, baik secara berbaur dengan Anak Negeri maupun membentuk suatu komunal lain dalam Petuanan Negeri, lebih didominasi oleh kepentingan ekonomi. Orang Dagang yang berasal dari keturunan Arab atau Cina, datang dan mendiami sebuah Negeri dalam jumlah yang sangat kecil, yaitu hanya satu atau beberapa kepala keluarga. Mereka ini hadir sebagai pedagang yang tidak membentuk komunal yang terpisah dari Anak Negeri, tetapi berbaur dalam komunitas Anak Negeri. Kontak sosial antar Anak Negeri dari dua atau lebih Negeri, terjadi karena hubungan kekerabatan, yang terakomodasi dalam berbagai wujud termasuk Pela dan Gandong, atau karena hubungan ekonomi maupun sosial lain, seperti pendidikan anak, atau acara-acara keagamaan maupun hari-hari besar kenegaraan. Sebaliknya, kontak sosial antara Anak Negeri dengan Orang Dagang, terutama yang berasal dari luar Maluku, terjadi karena kegiatan ekonomi, sehingga pola hubungan kedua kelompok masyarakat ini lebih dimotivasi oleh kepentingan ekonomi semata.


Secara antropologis dan sosiologis tersebut, maka sesungguhnya dalam kehidupan sosial, terutama pada daerah pedesaan di Maluku Tengah, terdapat tiga pengelompokan masyarakat, yaitu Anak Negeri Sarani, Anak Negeri Salam, dan Orang Dagang. Perekat sosial antar satu kelompok dengan kelompok lainnya, berbeda-beda. Perekat sosial yang mengikat hubungan sosial Anak Negeri Sarani dan Anak Negeri Salam, antara lain yang menonjol ialah nilai-nilai budaya Pela atau Gandong yang diyakini mempunyai kekuatan supranatural yang sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok masyarakat ini. Wujud keterikatan budaya ini secara praktis terlihat dari sifat kegotong-royongan antar kedua Negeri yang mempunyai hubungan pela atau gandong. Sifat kegotong-royongan ini dalam realitasnya memasuki area identitas kelompok yang sensitif, yaitu dalam hal pembangunan rumah ibadah, dimana Negeri Sarani merasa wajib untuk menyiapkan bahan bangunan (biasanya kayu) dan bersama-sama membangun mesjid. Demikian sebaliknya, Negeri Salam merasa wajib untuk menyiapkan bahan bangunan dan bersama-sama membangun gereja.

Kewajiban ini didasari atas rasa kewajiban sosial, moral dan ritual, sama sekali tidak ada nuansa ekonomi di dalamnya. Kewajiban yang bernuansa sosial, moral dan ritual ini, tidak mengurangi ataupun mengganggu kepatuhan terhadap ajaran agama yang dianut oleh Anak Negeri tiap Negeri yang berbeda agama ini, bahkan mempertebal rasa saling menghargai perbedaan agama antar kedua Negeri tersebut. Pola hubungan Anak Negeri dengan Orang Dagang, dipererat oleh kepentingan ekonomi, dari masing-masing kelompok. Sehingga yang menjadi perekat hubungan sosial antarkedua kelompok masyarakat ini bukan agama, tetapi transaksi ekonomi. Hal ini terjadi, karena pada umumnya Orang Dagang yang terbanyak berasal dari Buton, mendiami dan menggarap lahan milik petuanan Negeri Sarani. Sedangkan Orang Dagang asal Negeri lain, pada umumnya pola hubungan sosial dengan Anak Negeri direkatkan oleh kekerabatan karena perkawinan atau pekerjaan sosial lain. Sebab itu, pandangan Anak Negeri terhadap Orang Dagang yang berasal dari Negeri lain, berbeda dengan yang berasal dari luar Maluku Tengah. Orang Dagang dari Negeri lain, masih dilihat sebagai suatu kesatuan budaya, sedangkan terhadap Orang Dagang dari luar Maluku Tengah, dilihat sebagai pendatang dan orang di luar kesatuan budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar