judul blog

ale manis, beta manis, ambon jua manis || yang hitam itu manggustan, yang manis itu manggustan, yang hitam itu ambon, yang manis itu ambon

Senin, 25 April 2011

⚫ Visi & Misi Kota Ambon

VISI
“Terbinanya persatuan manusia Ambon yang “Manis” sebagai prasyarat membangun Kota Ambon dan meningkatkan kualitas hidup Masyarakat yang bermartabat secara berkelanjutan”.

MISI
Pertama : Mewujudkan Pembinaan Persatuan Manusia Ambon Yang “Manis” Secara Berkelanjutan.
Substansi misi ini adalah terwujudnya stabilitas sosial dan keamanan yang berkelanjutan, melalui konsolidasi institusi baik pemerintahan maupun masyarakat guna mencapai kondisi yang:
  • Secara Sosial Budaya, mencerminkan suatu tatanan kehidupan yang rukun, aman, tertib, saling menghormati dan menghargai dalam suasana kemajemukan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya lokal.
  • Secara Mental Spiritual, menunjukan suasana kebatinan dan kejiwaan manusia Ambon yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta menghargai perbedaan keyakinan antar sesama.
  • Secara Politik, mencerminkan sikap dan perilaku manusia Ambon yang demokratis dalam rangka mendukung dinamika masyarakat yang multikultur.
  • Secara Pemerintahan, mencerminkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan publik secara baik, bersih dan berwibawa.
  • Secara Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM),  mencerminkan karakter manusia Ambon yang mengutamakan prinsip keadilan, kepastian hukum serta menghargai dan menghormati HAM.
  • Secara Ekonomi,  mencerminkan karakter manusia Ambon yang berjiwa wirausaha, jujur  dalam berkompetisi untuk meraih peluang usaha tanpa meninggalkan nilai-nilai kolektif sesuai semangat “Bersatu Manggurebe Maju”.
Kedua : Mewujudkan Pembangunan Kota Ambon Secara Berkelanjutan.
Substansi misi ini adalah tersedianya berbagai infrastruktur  publik yang menyebar secara proporsional di semua Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) guna mencapai kondisi yang:
  • Secara Sarana dan Prasarana, mampu menyediakan berbagai fasilitas pendukung bagi terselenggaranya proses pembangunan yang optimal dan berkelanjutan.
  • Secara Tata Ruang, termanfaatkannya ruang sesuai peruntukan berdasarkan  karakteristik wilayah pengembangan dengan tetap memelihara kelestarian fungsi ekosistem.
  • Secara Ekonomi, terfasilitasinya peningkatan dinamika ekonomi yang produktif untuk mendukung terwujudnya Kota Ambon sebagai pusat aktivitas ekonomi dan transit bisnis.
  • Secara Sosial Budaya, terfasilitasinya pelayanan publik dan aktivitas sosial budaya secara optimal.
  • Secara Politik dan Pemerintahan, terfasilitasinya aktivitas politik dan pemerintahan yang efektif dan efisien.
  • Secara Hukum dan HAM, terfasilitasinya hak-hak konsumen dan hak-hak masyarakat lainnya khususnya masyarakat adat.
Ketiga : Mewujudkan Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat Kota Ambon Yang Bermartabat Secara Berkelanjutan.
Substansi misi ini adalah terwujudnya standar kehidupan masyarakat yang layak dan berkualitas, dimana :
  • Secara Ekonomi, dilakukan pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan terpadu baik dalam kerangka pendampingan manajerial, bantuan modal usaha dan peralatan serta lain-lain cara yang secara simultan dapat mendukung terciptanya peningkatan kapasitas dan kemandirian masyarakat.
  • Secara Sumberdaya Alam, terkelolanya sumberdaya alam yang tersedia secara optimal mendukung upaya pencapaian standar kehidupan masyarakat Kota Ambon yang berkualitas.
  • Secara Sarana dan Prasarana, terdistribusikan dan termanfaatkannya berbagai fasilitas pelayanan dasar secara optimal.
  • Secara Sosial Budaya, terkonsolidasi dan terfasilitasinya berbagai institusi sosial kemasyarakatan dalam rangka meningkatkan kualitas spiritual masyarakat.
  • Secara Politik dan Pemerintahan, terciptanya iklim politik yang kondusif dan pemerintahan yang stabil sebagai prasyarat bagi penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel dan transparan, pelaksanaan pembangunan yang partisipatif  serta pelayanan publik yang bermutu untuk mendukung upaya-upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Secara Hukum dan HAM, tersedianya perangkat hukum daerah  yang menjamin adanya keadilan dan kepastian hukum, kesadaran hukum masyarakat serta penghargaan terhadap HAM sebagai prasyarat bagi upaya mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat.
 
Selengkapnya...

⚫ Visi & Misi Provinsi Maluku



MISI
Terwujudnya perikehidupan masyarakat Maluku yang rukun, aman, damai dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh warga masyarakat yang bertaqwa, memiliki rasa cinta kasih dan berakhlak mualia, berkesadaran hukum dan lingkungan, serta memiliki etos kerja yang tinggi.

MISI
  1. penciptaan kondisi aman, damai, tertib dan tentram dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
  2. Peningkatan penghayatan dan pengamalan ajaran agama untuk mewujudkan kualitas keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan YME dalam kehidupan sehari-hari dan mantapnya persaudaraan umat beragama, berakhlak mulia, toleran, rukun dan damai
  3. Penegakan hukum dan hak azasi manusia yang menjamin tegaknya tatanan kehidupan bermasyarakat berlandaskan keadilan dan kebenaran. Dalam hubungan ini, aparatur penegak hukum akan ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitas, disamping mengefektifkan tatanan hukum lokal seperti Sasi dan sejenisnya.
  4. Pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan, meningkatkan pembangunan wilayah secara terpadu, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang berbasis sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju, dan berdaya saing. Dalam hubungan ini, akan ditingkatkan peranan lembaga-lembaga keuangan dalam rangka mendorong investasi melalui penggalakan tabungan masyarakat.
  5. Pemanfaatan berbagai potensi sumber daya alam spesifik daerah seoptimal mungkin dengan mendorong perkembangan pengusaha lokal baik dalam emenuhan kebutuhan akan modal (investasi) maupun dalam membuka akses dalam kompetisi pasar global baik nasional, regional, maupun internasional.
  6. Pemantapan pelaksanaan oyonomi daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk memacu percepatan pembangunan daerah dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan dampak konflik sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
  7. Peningkatan kualitas aparatur Pemerintahan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara optimal, profesional, buerdaya guna, produktif, transparan, demokratis serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
  8. Peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan bermanfaat sert peningkatan ketahanan masyarakat dan lembaga masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan sehingga secara bertahap memiliki daya tahan, kemandirian, kemampuan menghidupkan diri, keluarga dan lingkungannya.
  9. Penciptaan sistem dan iklim pendidikan yang demokratis dan bermutu pada seluruh tatanan terutama pada Perguruan Tinggi, guna meningkatkan etos kerja dan daya saiang, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin dan bertanggungjawab, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mengembangkan kualitas sumber daya manusia.
  10. Penciptaan kehidupan sosial budaya masyarakat yang berkepribadian, dinamis, kreatif, dan berdaya tahan terhadap pengaruh globalisasi.
Selengkapnya...

⚫ PILKADA kota Ambon

PILKADA Kota Ambon Akan Segera dilaksanakan. Siapakah sangat Populer dan Pantas Untuk Memimpin Kota Ambon periode 2011-2016 ?


  • Daniel Palapia-La Suryadi (DAYA)
  • Ferry Wattimury-Awath Ternate (WATE)
  • Richard Louhenapessy-MAS Latuconsina (PAPARISA)
  • HJ Huliselan-Machfud Waliulu (SELALU)
  • Paulus Kastanya-La Hamsidi (KASIH)
  • Abraham Pakel-Saidin Ernas (BRAMSAID)
  • Olivia Ch Latuconsina-Andre Hehanussa (LATUNUSA)
  • Lucky Wattimury-Hero Abdul Drachman (PATTIMURA)




Selengkapnya...

⚫ The History Of Ambonese

Kota Ambon adalah kota dan sekaligus ibu kota provinsi Maluku,Indonesia.
dikenal juga dengan nama Ambon Manise, merupakan kota terbesar di kepulauan Maluku.Saat ini kota Ambon menjadi pusat pelabuhan, pariwisata dan pendidikan di provinsi Maluku.

Pada tahun 1575, saat dibangunnya Benteng Portugis di Pantai Honipopu, yang disebut Benteng Kota Laha atau Ferangi, kelompok-kelompok masyarakat kemudian mendiami sekitar benteng. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut kemudian dikenal dengan nama soa Ema, Soa Kilang, Soa Silale, Hative, Urimessing dan sebagainya. Kelompok-kelompok masyarakat inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya Kota Ambon. Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok masyarakat tersebut telah berkembang menjadi masyarakat Ginekologis territorial yang teratur. Karena itu, tahun 1575 dikenal sebagai tahun lahirnya Kota Ambon. Pada tanggal 7 September 1921, masyarakat Kota Ambon diberi hak yang sama dengan Pemerintah Colonial, sebagai manifestasi hasil perjuangan Rakyat Indonesia asal Maluku. Momentum ini merupakan salah satu momentum kekalahan politis dari Bangsa Penjajah dan merupakan awal mulanya warga Kota Ambon memainkan peranannya di dalam Pemerintahan seirama dengan politik penjajah pada masa itu, serta menjadi modal bagi Rakyat Kota Ambon dalam menentukan masa depannya. Karena itu, tanggal 7 September ditetapkan sebagai tanggal kelahiran Kota Ambon.

Sejarah Penentuan Lahirnya Kota Ambon

Hari lahir atau hari jadi kota Ambon telah diputuskan jatuh pada tanggal 7 September 1575 dalam suatu seminar di Kota Ambon. Bagaimana penentuan hari jadi kota kita yang telah berumur ratusan tahun itu, sejarahnya dapat dijelaskan sebagai berikut : Bahwa yang mengambil inisiatif atau gagasan untuk mencari dan menentukan hari jadi atau hari lahir Kota Ambon adalah Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Ambon Almarhum Letnan Kolonel Laut Matheos H. Manuputty (Walikota yang ke- 9).

Untuk itu dikeluarkannya Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah tingkat II Ambon tertanggal 10 Juli 1972 nomor 25/KPTS/1972 yang diubah pada tanggal 16 Agustus 1972, yang isinya mengenai pembentukan Panitia Khusus Sejarah Kota Ambon dengan tugas untuk menggali dan menentukan hari lahir kota Ambon. Kemudian dengan suratnya tertanggal 24 Oktober 1972 nomor PK. I/4168 selaku Panitia Khusus Sejarah Kota Ambon menyerahkan tugasnya itu kepada Fakultas Keguruan Universitas Pattimura untuk menyelenggarakan suatu seminar ilmiah dalam rangka penentuan hari lahir Kota Ambon.

Selanjutnya pada tanggal 26 Oktober 1972 Pimpinan Fakultas Keguruan mengadakan rapat dengan pimpinan Jurusan Sejarah dan hasilnya adalah diterbitkannya Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan Universitas pattimura tertanggal 1 Nopember 1972 nomor 4/1972 tentang pembentukan Panitia Seminar Sejarah Kota Ambon. Seminar sejarah ini berlangsung dari tanggal 14 sampai dengan 17 Nopember 1972, dihadiri oleh kurang lebih dua ratus orang yang terdiri dari unsur-unsur akademis, Tokoh Masyarakat dan Tokoh adat serta aparat Pemerintah Kodya Ambon maupun Provinsi Maluku.

Susunan Panitia seminar dicatat sebagai berikut ;

Ketua

Drs. John Sitanala (Dekan Fakultas Keguruan)

Wakil Ketua

Drs. John A. Pattikayhatu (Ketua jurusan Sejarah)

Sekretaris

Drs. Z. J. Latupapua (Sekretaris Fakultas Keguruan)

Seksi Persidangan yang terdiri dari tiga kelompok

  • Kelompok I diketuai Thos Siahay, BA.
  • Kelompok II diketuai Yoop Lasamahu, BA
  • Kelompok III diketuai Ismail Risahandua, BA

Panitia Pengarah/Teknis Ilmiah diketuai oleh Drs. J.A. Pattikayhatu,

  1. Drs. Tommy Uneputty
  2. Drs. Mus Huliselan
  3. Drs. John Tamaela
  4. Dra. J. Latuconsina
  5. Sam Patty, BA
  6. I. A. Diaz

Pemakalah terdiri dari 7 orang, 3 dari Pusat dan 4 dari daerah

  1. Drs. Moh. Ali (Kepala Arsip Nasional)
  2. Drs. Z. J. Manusama (Pakar Sejarah Maluku)
  3. Drs. I. O. Nanulaita (IKIP Bandung)
  4. Drs. J. A. Pattikayhatu (Fakultas Keguruan Universitas Pattimura)
  5. Drs. T. J. A. Uneputty (Fakultas Keguruan Universitas Pattimura)
  6. Drs. Y. Tamaela (Fakultas Keguruan Universitas Pattimura)
  7. Dra. J. Latuconsina (Fakultas Keguruan Universitas Pattimura)

Seminar berlangsung dari tanggal 14 sampai 17 Nopember 1972 itu akhirnya menetapkan hari lahir kota Ambon pada tanggal 7 September 1575. Bahwa tahun 1575 diambil sebagai patokan pendirian kota Ambon ialah berdasarkan fakta-fakta sejarah yang dianalisa dimana sekitar tahun tersebut sudah dimulai pembangunan benteng “Kota Laha” didataran Honipopu dengan mengerahkan penduduk di sekitarnya oleh penguasa Portugis seperti penduduk negeri / desa Kilang, Ema, Soya, Hutumuri, Halong, Hative, Seilale, Urimessing, Batu Merah dll. Benteng Portugis yang dibangun diberi nama “Nossa Senhora de Anuneiada”. Dalam perkembangannya kelompok pekerja benteng mendirikan perkampungan yang disebut “Soa” Kelompok masyarakat inilah yang menjadi dasar dari pembentukan kota Ambon kemudian (Citade Amboina) karena di dalam perkembangan selanjutnya masyarakat tersebut sudah menjadi masyarakat geneologis teritorial yang teratur.

Pemukiman dan aktifitas masyarakat disekitar Benteng makin meluas dengan kedatangan migrasi dari utara terutama dari Ternate, baik orang-orang Portugis maupun para pedagang Nusantara sebagai akibat dari pengungsian orang-orang portugis dari kerajaan Ternate yang dipimpin oleh Sultan Baabullah. Peristiwa kekalahan Portugis tersebut membawa suatu konsekuensi logis dimana masyarakat di sekitar Benteng Kota Laha itu makin bertambah banyak dengan tempat tinggal yang sudah relatif luas sehingga persyaratan untuk berkembang menuju kepada sebuat kota lebih dipenuhi.

Selanjutnya tentang penetapan tanggal 07 September didasarkan pada peninjauan fakta sejarah bahwa pada tanggal 07 September 1921 , masyarakat kota Ambon diberikan hak yang sama dengan Pemerintah Kolonial Belanda sebagai hasil manifestasi perjuangan Rakyat Indonesia asal Maluku di bahwa pimpinan Alexander Yacob Patty untuk menentukan jalannya Pemerintahan Kota melalui wakil-wakil dalam Gemeeteraad (Dewan Kota) berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal tanggal 07 September 1921 nomor 07 (Staatblad 92 Nomor 524). Ditinjau dari segi politik nasional, momentum ini merupakan saat penentuan dari Pemerintahan Kolonial Belanda atas segala perjuangan rakyat Indonesia di Kota Ambon yang sekaligus merupakan suatu momentum kekalahan politis dari bangsa penjajah. Ditinjau dari segi yuridis formal, tanggal 07 September merupakan hari mulainya kota memainkan peranannya di dalam pemerintahan seirama dengan politik penjajah dewasa itu. Momentum inilah yang menjadi wadah bagi rakyat Kota Ambon di dalam menentukan masa depan. Dilain pihak, kota Ambon sebagai daerah Otonom dewasa ini tidak dapat dilepaspisahkan daripada langka momentum sejarah.

Setelah Seminar Sejarah Kota Ambon yang berlansung tanggal 14 sampai 17 Nopember 1972 berhasil menetapkan tanggal 7 September 1575 sebagai Hari lahir Kota Ambon, maka untuk pertama kalinya pada tanggal 7 September 1973 Hari lahir Kota Ambon diperingati. Dan itu berarti sampai dengan saat ini (2011) Kota Ambon telah mencapai usia 436 tahun.
 
Selengkapnya...

⚫ The History Of Moluccas


Maluku merupakan salah satu propinsi tertua dalam sejarah Indonesia merdeka, dikenal dengan kawasan Seribu Pulau serta memiliki keanekaragaman sosial budaya dan kekayaan alam yang berlimpah. Secara historis kepulauan Maluku terdiri dari kerajaan-kerajaan Islam yang menguasai pulau-pulau tersebut. Oleh karena itu, diberi nama Maluku yang berasal dari kata Al Mulk yang berarti Tanah Raja-Raja. Daerah ini dinyatakan sebagai propinsi bersama tujuh daerah lainnya; Kalimantan, Sunda Kecil, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera – hanya dua hari setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun secara resmi pembentukan Maluku sebagai propinsi daerah tingkat I RI baru terjadi 12 tahun kemudian, berdasarkan Undang Undang Darurat Nomor 22 tahun 1957 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 1958.

Lintasan Sejarah...
Seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, Kepulauan Maluku memiliki perjalanan sejarah yang panjang dan tidak dapat dilepaskan dari sejarah Indonesia secara keseluruhan. Kawasan kepulauan yang kaya dengan rempah-rempah ini sudah dikenal di dunia internasional sejak dahulu kala. Pada awal abad ke-7 pelaut-pelaut dari daratan Cina, khususnya pada zaman Dinasti Tang, kerap mengunjungi Maluku untuk mencari rempah-rempah. Namun mereka sengaja merahasiakannya untuk mencegah datangnya bangsa-bangsa lain kedaerah ini.
Pada abad ke-9 pedagang Arab berhasil menemukan Maluku setelah mengarungi Samudra Hindia. Para pedagang ini kemudian menguasai pasar Eropa melalui kota-kota pelabuhan seperti Konstatinopel. Abad ke-14 adalah merupakan masa perdagangan rempah-rempah Timur Tengah yang membawa agama Islam masuk ke Kepulauan Maluku melalui pelabuhan-pelabuhan Aceh, Malaka, dan Gresik, antara 1300 sampai 1400. Pada abad ke-12 wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya meliputi Kepulauan Maluku. Pada awal abad ke-14 Kerajaan Majapahit menguasai seluruh wilayah laut Asia Tenggara. Pada waktu itu para pedagang dari Jawa memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku.

Dimasa Dinas Ming (1368 – 1643) rempah-rempah dari Maluku diperkenalkan dalam berbagai karya seni dan sejarah. Dalam sebuah lukisan karya W.P. Groeneveldt yang berjudul Gunung Dupa, Maluku digambarkan sebagai wilayah bergunung-gunung yang hijau dan dipenuhi pohon cengkih – sebuah oase ditengah laut sebelah tenggara. Marco Polo juga menggambarkan perdagangan cengkih di Maluku dalam kunjungannya di Sumatra.

Era Portugis
Bangsa Eropa pertama yang menemukan Maluku adalah Portugis, pada tahun 1512. Pada waktu itu 2 armada Portugis, masing-masing dibawah pimpinan Anthony d'Abreu dan Fransisco Serau, mendarat di Kepulauan Banda dan Kepulauan Penyu. Setelah mereka menjalin persahabatan dengan penduduk dan raja-raja setempat - seperti dengan Kerajaan Ternate di pulau Ternate, Portugis diberi izin untuk mendirikan benteng di Pikaoli, begitupula Negeri Hitu lama, dan Mamala di Pulau Ambon.Namun hubungan dagang rempah-rempah ini tidak berlangsung lama, karena Portugis menerapkan sistem monopoli sekaligus melakukan penyebaran agama Kristen.

Salah seorang misionaris terkenal adalah Francis Xavier. Tiba di Ambon 14 Pebruari 1546, kemudian melanjutkan perjalanan ke Ternate, tiba pada tahun 1547, dan tanpa kenal lelah melakukan kunjungan ke pulau-pulau di Kepulauan Maluku untuk melakukan penyebaran agama. Persahabatan Portugis dan Ternate berakhir pada tahun 1570. Peperangan dengan Sultan Babullah selama 5 tahun (1570-1575), membuat Portugis harus angkat kaki dari Ternate dan terusir ke Tidore dan Ambon.

Era Belanda
Perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis, dimanfaatkan Belanda untuk menjejakkan kakinya di Maluku. Pada tahun 1605, Belanda berhasil memaksa Portugis untuk menyerahkan pertahanannya di Ambon kepada Steven van der Hagen dan di Tidore kepada Cornelisz Sebastiansz. Demikian pula benteng Inggris di Kambelo, Pulau Seram, dihancurkan oleh Belanda. Sejak saat itu Belanda berhasil menguasai sebagian besar wilayah Maluku.

Kedudukan Belanda di Maluku semakin kuat dengan berdirinya VOC pada tahun 1602, dan sejak saat itu Belanda menjadi penguasa tunggal di Maluku. Di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen, Kepala Operasional VOC, perdagangan cengkih di Maluku sepunuh di bawah kendali VOC selama hampir 350 tahun. Untuk keperluan ini VOC tidak segan-segan mengusir pesaingnya; Portugis, Spanyol, dan Inggris. Bahkan puluhan ribu orang Maluku menjadi korban kebrutalan VOC. Pada permulaan tahun 1800 Inggris mulai menyerang dan menguasai wilayah-wilayah kekuasaan Belanda seperti di Ternate dan Banda. Dan, pada tahun 1810 Inggris menguasai Maluku dengan menempatkan seorang resimen jendral bernama Bryant Martin. Namun sesuai konvensi London tahun 1814 yang memutuskan Inggris harus menyerahkan kembali seluruh jajahan Belanda kepada pemerintah Belanda, maka mulai tahun 1817 Belanda mengatur kembali kekuasaannya di Maluku.

Pahlawan
Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Thomas Matulessy yang diberi gelar Kapitan Pattimura, seorang bekas sersan mayor tentara Inggris. Pada tanggal 15 Mei 1817 serangan dilancarkan terhadap benteng Belanda ''Duurstede'' di pulau Saparua. Residen van den Berg terbunuh. Pattimura dalam perlawanan ini dibantu oleh teman-temannya ; Philip Latumahina, Anthony Ribok, dan Said Perintah. Berita kemenangan pertama ini membangkitkan semangat perlawanan rakyat di seluruh Maluku. Paulus Tiahahu dan putrinya Christina Martha Tiahahu berjuang di Pulau Nusalaut, dan Kapitan Ulupaha di Ambon. Tetapi Perlawanan rakyat ini akhirnya dengan penuh tipu muslihat dan kelicikan dapat ditumpas kekuasaan Belanda. Pattimura dan teman-temannya pada tanggal 16 Desember 1817 dijatuhi hukuman mati di tiang gantungan, di Fort Niew Victoria, Ambon. Sedangkan Christina Martha Tiahahu meninggal di atas kapal dalam pelayaran pembuangannya ke pulau Jawa dan jasadnya dilepaskan ke laut Banda.


Era Perang Dunia Ke Dua
Pecahnya Perang Pasifik tanggal 7 Desember 1941 sebagai bagian dari Perang Dunia II mencatat era baru dalam sejarah penjajahan di Indonesia. Gubernur Jendral Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh , melalui radio, menyatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda dalam keadaan perang dengan Jepang. Tentara Jepang tidak banyak kesulitan merebut kepulauan di Indonesia. Di Kepulauan Maluku, pasukan Jepang masuk dari utara melalui pulau Morotai dan dari timur melalui pulau Misool. Dalam waktu singkat seluruh Kepulauan Maluku dapat dikuasai Jepang. Perlu dicatat bahwa dalam Perang Dunia II, tentara Australia sempat bertempur melawan tentara Jepang di desa Tawiri. Dan, untuk memperingatinya dibangun monumen Australia di desa Tawiri (tidak jauh dari Bandara Pattimura).


Dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Maluku dinyatakan sebagai salah satu propinsi Republik Indonesia. Namun pembentukan dan kedudukan Propinsi Maluku saat itu terpaksa dilakukan di Jakarta, sebab segera setelah Jepang menyerah, Belanda (NICA) langsung memasuki Maluku dan menghidupkan kembali sistem pemerintahan colonial di Maluku. Belanda terus berusaha menguasai daerah yang kaya dengan rempah-rempahnya ini – bahkan hingga setelah keluarnya pengakuan kedaulatan pada tahun 1949 – dengan mensponsori terbentuknya “Republik Maluku Selatan” (RMS).

Budaya
Nilai-nilai sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Maluku merupakan salah satu modal dasar bagi peningkatan persatuan dan kesatuan termasuk menyemangati masyarakat dalam melaksanakan pembangunan di daerah ini. Hubungan-hubungan kekerabatan adat dan budaya harus terus didorong sehingga dapat menciptakan sinergitas yang andal bagi upaya bersama membangun Maluku Baru di masa mendatang. Pendukung kebudayaan di Maluku terdiri dari ratusan sub suku, yang dapat diindikasikan dari pengguna bahasa lokal yang diketahui masih aktif dipergunakan sebanyak 117 dari jumlah bahasa lokal yang pernah ada kurang lebih 130-an. Meskipun masyarakat di daerah ini mencerminkan karakteristik masyarakat yang multi kultur, tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan-kesamaan nilai budaya sebagai representasi kolektif. Salah satu diantaranya adalah filosofi Siwalima yang selama ini telah melembaga sebagai world view atau cara pandang masyarakat tentang kehidupan bersama dalam kepelbagaian. Di dalam filosofi ini, terkandung berbagai pranata yang memiliki common values dan dapat ditemukan di seluruh wilayah Maluku. Sebutlah pranata budaya seperti masohi, maren, sweri, sasi, hawear, pela gandong, dan lain sebagainya. Adapun filosofi Siwalima dimaksud telah menjadi simbol identitas daerah, karena selama ini sudah dipaterikan sebagai dan menjadi logo dari Pemerintah Daerah Maluku. Dalam konteks pembangunan daerah, nilai-nilai budaya lokal yang masih ada dan hidup di kalangan masyarakat, dapat dipandang sebagai modal sosial yang perlu dimanfaatkan bagi kepentingan pembangunan daerah


Pela Gandong sebagai Katup Pengaman di Maluku
Secara antropologis, masyarakat asli Maluku Tengah berasal dari dua pulau besar, yaitu Pulau Seram dan Pulau Buru, yang kemudian bermigrasi ke pulau-pulau kecil di sekitarnya. Para migran dari Pulau Seram menyebar ke Kepulauan Lease (Pulau Haruku, Pulau Saparua, Pulau Nusalaut) dan Pulau Ambon. Migrasi ini memberi dampak terhadap peran Kepulauan Lease sebagai pusat kebudayaan baru yang diintrodusir oleh kolonial Belanda, sehingga terjadi asimilasi antara kebudayaan baru dimaksud dengan Kebudayaan Seram yang mendapat pengaruh dari kebudayaan sekitarnya, yaitu kebudayaan Melanesia (tradisi Kakean) dan Melayu, serta kekuasaan Ternate dan Tidore. Dalam rangka pengawasan terhadap penduduk, pemerintah kolonial Belanda menurunkan penduduk dari pegunungan ke pesisir pantai, sehingga komunitas-komunitas dengan teritori yang disebut Hena atau Aman, berganti nama dengan Negeri, yang diciptakan oleh kolonial.


Dalam proses sosio-historis, negeri-negeri ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam. Pembentukan negeri seperti ini memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang mengentalkan solidaritas kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik. Oleh sebab itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen konflik tradisional sebagai pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna mengatasi kerentanan konflik dimaksud seperti Pela, Gandong dan hubungan kekerabatan lainnya.
Teritori-teritori baru ini (negeri) diatur struktur pemerintahannya yang mirip dengan struktur pemerintahan di Negeri Belanda. Dengan struktur pemerintahan demikian, maka negeri-negeri menjadi ”negara-negara” kecil dengan pemerintah, rakyat dan teritori tertentu, dipimpin oleh raja yang diangkat dari klen-klen tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negeri dibagi-bagi untuk seluruh klen dalam komunitas negeri.

Dalam proses penataan struktur pemerintahan negeri, terjadi perubahan institusi sosial, seperti Saniri Negeri yang sebelumnya merupakan lembaga peradilan, berubah fungsi menjadi semacam badan perwakilan rakyat.
Dalam perkembangan sosio-historis selanjutnya, terjadi kontak-kontak sosial baik antar masyarakat asli Maluku Tengah maupun antara masyarakat asli dengan pendatang. Dengan demikian di masyarakat Maluku Tengah ini dikenal dua kelompok atau kategori sosial, yaitu Anak Negeri dan Orang Dagang. Yang disebut Anak Negeri ialah penduduk asli Maluku Tengah dalam sebuah negeri (Desa Adat).

Anak Negeri ini, terdiri atas dua kelompok pemeluk agama, yaitu Anak Negeri Sarani untuk yang beragama Kristen, yang mendiami Negeri (Desa Adat) Sarani, dan Anak Negeri Salam untuk yang beragama Islam, yang mendiami Negeri (Desa Adat). Kedua kelompok masyarakat ini umumnya hidup dalam komunal-komunal (Negeri) yang terpisah, kecuali di beberapa desa seperti Hila, Larike dan Tial di Pulau Ambon.
Yang disebut Orang Dagang ialah para pendatang, baik karena ikatan perkawinan dengan Anak Negeri, maupun karena tugas-tugas pelayanan masyarakat (guru, mantri kesehatan, mantri pertanian, dan lain-lain), atau karena aktivitas ekonomi (penggarap tanah atau pemungut hasil hutan, atau pedagang). Jadi, Orang Dagang di sebuah Negeri, dapat berasal dari orang Maluku asli yang berasal dari Negeri lain, ataupun pendatang dari luar Maluku, yaitu yang berasal dari Buton, dan suku bangsa Cina serta Arab.

Gotong Royong
Khusus pendatang dari luar Maluku, etnis yang dominan dari segi kuantitas ialah enis Buton. Orang Dagang dari luar Maluku ini datang dan menetap dalam Negeri, baik secara berbaur dengan Anak Negeri maupun membentuk suatu komunal lain dalam Petuanan Negeri, lebih didominasi oleh kepentingan ekonomi. Orang Dagang yang berasal dari keturunan Arab atau Cina, datang dan mendiami sebuah Negeri dalam jumlah yang sangat kecil, yaitu hanya satu atau beberapa kepala keluarga. Mereka ini hadir sebagai pedagang yang tidak membentuk komunal yang terpisah dari Anak Negeri, tetapi berbaur dalam komunitas Anak Negeri. Kontak sosial antar Anak Negeri dari dua atau lebih Negeri, terjadi karena hubungan kekerabatan, yang terakomodasi dalam berbagai wujud termasuk Pela dan Gandong, atau karena hubungan ekonomi maupun sosial lain, seperti pendidikan anak, atau acara-acara keagamaan maupun hari-hari besar kenegaraan. Sebaliknya, kontak sosial antara Anak Negeri dengan Orang Dagang, terutama yang berasal dari luar Maluku, terjadi karena kegiatan ekonomi, sehingga pola hubungan kedua kelompok masyarakat ini lebih dimotivasi oleh kepentingan ekonomi semata.


Secara antropologis dan sosiologis tersebut, maka sesungguhnya dalam kehidupan sosial, terutama pada daerah pedesaan di Maluku Tengah, terdapat tiga pengelompokan masyarakat, yaitu Anak Negeri Sarani, Anak Negeri Salam, dan Orang Dagang. Perekat sosial antar satu kelompok dengan kelompok lainnya, berbeda-beda. Perekat sosial yang mengikat hubungan sosial Anak Negeri Sarani dan Anak Negeri Salam, antara lain yang menonjol ialah nilai-nilai budaya Pela atau Gandong yang diyakini mempunyai kekuatan supranatural yang sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok masyarakat ini. Wujud keterikatan budaya ini secara praktis terlihat dari sifat kegotong-royongan antar kedua Negeri yang mempunyai hubungan pela atau gandong. Sifat kegotong-royongan ini dalam realitasnya memasuki area identitas kelompok yang sensitif, yaitu dalam hal pembangunan rumah ibadah, dimana Negeri Sarani merasa wajib untuk menyiapkan bahan bangunan (biasanya kayu) dan bersama-sama membangun mesjid. Demikian sebaliknya, Negeri Salam merasa wajib untuk menyiapkan bahan bangunan dan bersama-sama membangun gereja.

Kewajiban ini didasari atas rasa kewajiban sosial, moral dan ritual, sama sekali tidak ada nuansa ekonomi di dalamnya. Kewajiban yang bernuansa sosial, moral dan ritual ini, tidak mengurangi ataupun mengganggu kepatuhan terhadap ajaran agama yang dianut oleh Anak Negeri tiap Negeri yang berbeda agama ini, bahkan mempertebal rasa saling menghargai perbedaan agama antar kedua Negeri tersebut. Pola hubungan Anak Negeri dengan Orang Dagang, dipererat oleh kepentingan ekonomi, dari masing-masing kelompok. Sehingga yang menjadi perekat hubungan sosial antarkedua kelompok masyarakat ini bukan agama, tetapi transaksi ekonomi. Hal ini terjadi, karena pada umumnya Orang Dagang yang terbanyak berasal dari Buton, mendiami dan menggarap lahan milik petuanan Negeri Sarani. Sedangkan Orang Dagang asal Negeri lain, pada umumnya pola hubungan sosial dengan Anak Negeri direkatkan oleh kekerabatan karena perkawinan atau pekerjaan sosial lain. Sebab itu, pandangan Anak Negeri terhadap Orang Dagang yang berasal dari Negeri lain, berbeda dengan yang berasal dari luar Maluku Tengah. Orang Dagang dari Negeri lain, masih dilihat sebagai suatu kesatuan budaya, sedangkan terhadap Orang Dagang dari luar Maluku Tengah, dilihat sebagai pendatang dan orang di luar kesatuan budaya.
Selengkapnya...

Sabtu, 23 April 2011

⚫ αвσυт му тαмρα ρυтυѕ ρυѕα..

Maluku, salah satu provinsi yg ad d negara kita (Indonesia) bagian timur,, yg memiliki beribu2 kekayaan alam & budaya seni..
Ambon, Ambon Manise talalu manis lawang e.... itulah ibukota dr provinsi Maluku...
disanalah (Ambon) saya lahir & dibesarkan...
Ambon Ambon Ambon.... Slamanya saya cinta Ambon Manise...
Selengkapnya...

⚫ ωєℓςღʍєєєє....٩(-̮̮̃-̃)۶

Tαк кєηαℓ мαкα тαк ѕуg...
Mαяι вєявαgι ιηƒσямαѕι,ρєηgєтαнυαη.. Selengkapnya...